Minggu, 23 Oktober 2011

SEJARAH SUNAN KALIJAGA

MAKAM SUNAN KALIJAGA

Kadilangu terletak tak jauh dari Demak di Jawa Tengah. Kalau Anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai di Demak bisa mampir ke Kadilangu dahulu. Udara biasanya panas, tetapi orang-orang yang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus – dan ketulusan itulah yang memberi perasaan damai. Memang, di sanalah terletak makam yang dalam tesis Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI (2003) disebutkan sebagai “paling dikeramatkan di Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.
Nama ini terdengar begitu akrab, tetapi lebih akrab lagi adalah karya-karyanya sebagai pendakwah kreatif, yang sering dimanfaatkan tanpa disadari lagi sebagai gubahan Sunan Kalijaga. Seperti terjadi dengan kidung
Rumeksa Ing Wengi, yang disamping berfungsi sebagai kidung tolak bala, jika dibawakan Nyi Bei Madusari juga terdengar indah sekali. Perhatikan:
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.
 
Ada kidung melindungi di malam hari
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap. 
 
Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam metrum dhandhanggula. Sebuah ulasan dalam buku best seller yang ditulis seorang sarjana agronomi, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2003) karya Achmad Chodjim, dengan memikat telah menghadirkan makna kidung yang juga bisa berarti sabda atau firman, sebagai teknik membangkitkan konsentrasi dan kekuatan pikiran. Menurut Chodjim, kata-kata yang tertata rapi di dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran. Mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics: Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness (1981), Chodjim memaparkan bahwa kekuatan pikiran dapat menghasilkan sebuah medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat berinteraksi dengan dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi. Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai dari kejahatan “masuk akal” seperti pencurian, sampai yang disebut gaib seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya pada masa kehidupan Sunan Kalijaga.
Chodjim menyampaikan kisah nyata, bahwa kidung ini masih berfungsi di desa pada masa kini demi kebutuhan praktis, misalnya mengusir hama tikus. Dikisahkan bahwa pelafal doa berpuasa 24 jam, makan sahur dan buka tengah malam, lalu kidung Rumeksa ing Wengi ini dibaca sambil mengelilingi pematang sawah atau ladang. Alhasil, tikus benar-benar tidak datang ke sawah tersebut. Perhatikan, bukan tikus mati di mana-mana, melainkan sekadar tidak datang. Menurut Chodjim, doa memang bukan untuk merusak, tetapi menjaga harmoni alam. Disebutkan dengan tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif – dan yang disebut doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan kesucian.
Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi dan reputasi Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperkenalkan Sunan Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku. Dalam perbincangan bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang dikutip di sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu sendiri, dan karena orang Jawa abad XV tidak mudah mengucapkan apalagi memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa itu.
Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda 29 tahun pada 1935, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, disebutkan bahwa di antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah “yang paling orisinil.” Pemuda itu, P.J.Zoetmulder, yang kelak terkenal sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain setelah memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisanga, para pendakwah yang menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad XV.
Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, dan mengapa orisinalitas harus dianggap penting? Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam, kecenderungan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal di tempat ia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini. Namun sebelum sampai ke sana, mungkin baik kita ikuti kembali “sastra lisan” tentang proses kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna yang berada di balik kisah itu. Historiografi Jawa sulit dibaca seperti membaca buku sejarah modern -karena itu harus selalu diterima sebagai materi untuk ditafsirkan kembali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar